Minggu, 22 April 2012

Dari sebuah nama


Aku mengenalnya dari sebuah nama.
Dari sebait puisi yang tertulis di atas daun bambu.  Seketika itu daun terbawa angin subuh dan singgah di sebuah pematang sawah yang masih basah karena embun . Hingga tengah hari, Aku dan dia masih bersama dalam puisi itu. Di sana, kami melantunkan syair duka mesra kehidupan. Hingga senja tiba, kami masih bertahan di pematang itu.

Aku mengenalnya dari sebuah nama.
Dari sebait nada yang didendangkan di pasar malam. Memasuki  cerita malam  kami bermain komedi putar. Menyapa kerlipan bintang dari sangkar  bianglala. Nada masih berdendang. Lalu kami berceloteh di bangku  menikmati arum manis. Saat itu kami semua masih bersuka ria di bawah riangnya langit malam.

Aku mengenalnya dari sebuah nama.
Dari secarik kertas  putih yang bertuliskan salam hormat. Satu salam sebagai jejak pertalian antara kami dari fajar menyingsing hingga fajar merangkak ke pertengahan hari. Lalu dengan penuh rasa hormat, kami lipat serapi mungkin surat itu.  Kemudian kami selimuti ia dengan amplop cokelat bergaris. Dengan satu harapan,  semoga saat senja hadir di hadapan kami, surat itu masih berwarna putih bersih dengan salam hormat penuh hormat dan Tuhan turut serta meyaksikannya. 

2 komentar:

  1. tak kan hilang sebuah nama karna terpaan sang taufan

    BalasHapus
  2. kunjungan gan,bagi - bagi motivasi
    Hal mudah akan terasa sulit jika yg pertama dipikirkan adalah kata SULIT. Yakinlah bahwa kita memiliki kemampuan dan kekuatan.
    ditunggu kunjungan baliknya yaa :)

    BalasHapus