Aku mengenalnya dari
sebuah nama.
Dari sebait puisi yang tertulis di atas daun bambu.
Seketika itu daun terbawa angin subuh dan
singgah di sebuah pematang sawah yang masih basah karena embun . Hingga tengah
hari, Aku dan dia masih bersama dalam puisi itu. Di sana, kami melantunkan
syair duka mesra kehidupan. Hingga senja tiba, kami masih bertahan di pematang
itu.
Aku mengenalnya
dari sebuah nama.
Dari sebait nada
yang didendangkan di pasar malam. Memasuki cerita malam kami bermain komedi putar. Menyapa kerlipan
bintang dari sangkar bianglala. Nada
masih berdendang. Lalu kami berceloteh di bangku menikmati arum manis. Saat itu kami semua
masih bersuka ria di bawah riangnya langit malam.
Aku mengenalnya
dari sebuah nama.
Dari secarik kertas putih
yang bertuliskan salam hormat. Satu salam sebagai jejak pertalian antara kami
dari fajar menyingsing hingga fajar merangkak ke pertengahan hari. Lalu dengan penuh
rasa hormat, kami lipat serapi mungkin surat itu. Kemudian kami selimuti ia dengan amplop cokelat
bergaris. Dengan satu harapan, semoga saat senja hadir di hadapan kami, surat itu masih berwarna
putih bersih dengan salam hormat penuh hormat dan Tuhan turut serta meyaksikannya.
tak kan hilang sebuah nama karna terpaan sang taufan
BalasHapuskunjungan gan,bagi - bagi motivasi
BalasHapusHal mudah akan terasa sulit jika yg pertama dipikirkan adalah kata SULIT. Yakinlah bahwa kita memiliki kemampuan dan kekuatan.
ditunggu kunjungan baliknya yaa :)